MENARAnews, Pandeglang (Banten) – Pemanfaatan layanan kesehatan berupa Surat Keterangan Miskin (SKM) di Kabupaten Pandeglang, dipertanyakan. Pasalnya, setiap tahun pengguna SKM selalu meningkat. Padahal pemerintah sudah mengeluarkan berbagai bantuan bagi warga tidak mampu.
Asisten Daerah bidang Pemerintahan Setda Pandeglang, Ramadani mengaku heran dengan pemanfaatan SKM yang tiap tahun malah bertambah. Dia menerangkan, harusnya dengan berbagai bentuk bantuan stimulus dari pemerintah, bisa menekan angka kemiskinan di Pandeglang.
“Yang jadi masalah kok setiap tahun SKM selalu meningkat. Kan jadi lucu? Padahal harusnya logikanya berkurang,” katanya heran, Senin (23/12/2019).
Namun, Ramadani enggan menyebut bahwa ada penyalahgunaan terhadap program bantuan tersebut. Hal itu masih terlalu dini lantaran perlu dibuktikan terlebih dahulu. Hanya dia mengingatkan Dinas Sosial, untuk memperketat proses verifikasi penerima layanan berobat melalui SKM.
“Belum tahu (ada penyalahgunaan atau tidak). Nanti akan kami lihat. Makanya kuncinya tadi verifikasinya diperketat. Kalau betul-betul miskin silakan didaftarkan,” ujar Ramadani.
Bengkaknya pengguna SKM tersebut, berimbas pada dihentikannya layanan berobat itu sejak tanggal 16 Desember 2019 lalu. Pemerintah Kabupaten Pandeglang memberhentikan layanan tersebut karena anggaran yang disediakan sekitar Rp2 miliar sudah habis terpakai.
Padahal tahun 2019 masih berjalan. Layanan itu baru akan dibuka kembali pada awal Januari tahun depan, pasca ditetapkannya APBD Pandeglang tahun 2020.
Sementara, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Pandeglang, Nuriah tidak mengelak akan kemungkinan adanya penyalahgunaan program tersebut. Sebab ia menjabarkan, meningkatkan penggunaan SKM karena salah satunya akibat peserta yang tidak sanggup membayar premi asuransi pemerintah, lalu memanfaatkan SKM ketika berobat.
“Indikator kemiskinan harus evaluasi data. Karena awalnya mereka sudah ada kartu yang ditanggung oleh subsidi pemerintah. Pada saat iuran itu naik, mereka tidak sanggup bayar sehingga pakai SKM. Kemudian, dia sebetulnya mampu, tapi pas datang ke rumah sakit biayanya besar, maka minta surat rekomendasi (SKM) dari desa,” jelasnya.
Namun, Nuriah mengaku bingung untuk mengatasi persoalan itu. Pasalnya, rekomendasi SKM dikeluarkan atas permintaan Kepala Desa yang disetujui oleh TKSK lalu camat. Jika ditingkat bawah menyetujui, Dinsos tidak bisa menolak untuk mengeluarkan persetujuan.
“Coba ini harusnya gimana bisa begini? Karena kalau sudah ditandatangan oleh desa, TKSK, dan camat, kami tidak bisa menolak. Berarti kan harus dari bawah verifikasinya. Kalau sudah sampai di Dinsos, bingung juga menolaknya,” sambung mantan Camat Cimanuk itu.
Malah seharusnya Nuriah melanjutkan, pemerintah membuat sistem audit terhadap penerima manfaat SKM sebagai upaya validasi program tepat sasaran. Sayangnya, hal itu belum menjadi perhatian pemerintah.
“Seharusnya memang ada sistem audit untuk memastikan bahwa bantuan SKM yang diberikan sudah tepat sasaran. Sekaligus memverifikasi untuk mengevaluasi bagaimana disekstor pelayanan kesehatan kategorinya itu yang harus dievaluasi,” ungkapnya.
Oleh karenanya, Nuriah akan menekankan Kepala Desa agar selektif mengeluarkan rekomendasi SKM supaya tepat sasaran. Karena sejatinya, pihak desa lah yang mengetahui kondisi jelas dari masing-masing warganya. Apalagi tahun depan, anggaran untuk SKM akan bertambah sekian ratus juta dari tahun ini.
“Ini harus komitmen bersama. Kalau mereka (desa) yang hafal kondisi warganya, kan dari jajaran desa dan TKSK. Kalau seperti ini saja, harus duduk bersama, tidak bisa hanya Dinsos, harus lintas bidang,” tutup wanita berkacamata itu. (IN)