MENARAnews, Pandeglang (Banten) – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Plt Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB Pangarso Suryotomo, melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Pandeglang dalam rangka membuka kegiatan Ekspedisi Desa Tangguh Bencana (Destana) tingkat Provinsi Banten.
Dalam sambutannya, Pangarso Suryotomo menjelaskan bahwa penanganan upaya pengurangan risiko bencana, harus dilakukan secara bersamaan dengan melibatkan seluruh elemen, baik pemerintah, masyarakat, relawan, hingga dunia usaha. Hal ini dikarenakan dari 14 jenis bencana yang ada, hampir semuanya ada di Provinsi Banten.
Pangarso menjelaskan, upaya penanggulangan bencana perlu ditangani secara komprehensif, multi sektoral, terpadu, dan terkoordinasi antara pemerintah daerah dan provinsi.
“Karena pemerintah daerah lah pihak yang langsung berhadapan dengan bencana dan berbagai dampaknya,” terangnya, (30/10/2019).
Tidak cuma itu, Pangarso pun menekankan perlunya pemahaman filosofi dari penanggulangan bencana, yang meliputi menjauhkan masyarakat dari bencana, menjauhkan bencana dari masyarakat, dan hidup berdampingan dengan bencana.
“Maka dari itu, kita diharapkan mampu untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan mengambil tindakan pencegahan dan mitigasi bencana sehingga dapat mengurangi tingkat risiko suatu bencana,” ujarnya.
Oleh karenanya lanjut Pangarso, melalui ekspedisi Destana tingkat Provinsi Banten ini, yang juga menyelipkan gladi serta simulasi penanganan bencana, diharapkan dapat membangun komitmen bersama untuk terlibat aktif dan mendorong terbentuknya gerakan mengurangi risiko bencana berbasis masyarakat di wilayah rawan bencana di Provinsi Banten.
“Dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana yang dilaksanakan terencana dan terintegrasi, sehingga pengelolaan bencana dapat dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh,” tandas pria yang akrab disapa Papang itu.
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Provinsi Banten, Juhriadi menambahkan, salah satu yang perlu diperbaiki dalam hal penanggulangan bencana yang komprehensif, adalah masalah data informasi kebencanaan.
“Pasalnya saat peristiwa tsunami Selat Sunda akhir tahun lalu, terjadi kesimpangsiuran data korban bencana akibat kurangnya koordinasi. Jumlah korban bencana yang dilaporkan Kepala Desa atau camat dengan data yang diperoleh petugas seringkali berbeda,” ungkapnya.
Maka dari itu dia menyarankan, setiap daerah membentuk struktur pos penanggulangan bencana sebagai penanggung jawab. Salah satu tugasnya, yakni mencatat dan melaporkan data di lapangan untuk dikumpulkan menjadi pusat data dan informasi (Pusdatin).
“Maka mereka harus mempelopori melakukan pencatatan dan pelaporan di lapangan untuk dikumpulkan menjadi pusat data dan informasi agar rekan-rekan media tidak bingung menghubungi kemana,” pungkas Juhriadi.