MENARAnews.com, Denpasar(Bali) – Ketua Pansus Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Desa Adat, I Nyoman Partha mengatakan akan memperkuat ekonomi Desa Adat dengan membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Desa Adat, yang perancangan dan pelaksanaannya tidak serumit APBD Pemerintah Daerah.
“Ini kita lakukan untuk menghentikan pungutan kepada masyarakat Desa Adat,” tutur Partha dalam acara Rapat Harmonisasi Raperda tentang Desa Adat, di Ruang Baleg Lt.2, Gedung DPRD Provinsi Bali, Senin (1/4/2019).
Meski demikian, pungutan terhadap Krama Tamiu dan Tamiudi Desa Adat akan terus dilakukan. Namun diluar urusan yang berkaitan dengan Parhayangan (hubungan manusia dengan tuhan). Pungutan pada mereka hanya untuk keperluan yang bersifat Pawongan (hubungan manusia dengan manusia) serta palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan).
“Pemungutan ini dasarnya jelas, maka akan dibuatkan Pararem yang diverifikasi oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) khusus yang akan membidangi tentang Kelembagaan, Hukum dan masalah Ekonomi Desa Adat,” imbuhnya.
Partha menegaskan, setiap pendapatan atau penerimaan Desa Adat harus tercatat dengan dasar yang rasioanal serta proses yang sah. Selanjutnya segala pembiayaan atau belanja yang disebut dengan pengeluaran orientasinya harus benar, hingga sampai pada proses terakhir yakni pembuatan laporan pertanggungjawabannya.
Dalam Perda Desa Adat, penguatan lembaga keuangan seperti Lembaga Perkreditan Desa (LPD), akan tetap mempertahankan setradisional mungkin keberadaannya, dengan kearifan lokal yang makin tumbuh subur. “Namun, perlu dijelaskan kembali, tata kelola LPD harus berubah menjadi modern seiring tuntuntan jaman agar tidak tertinggal dengan daerah lainya,” tandas Partha.
Terkait sumber pendapatan desa adat, sebelumnya telah diketahui bersama bahwa Gubernur Koster telah memohon dana kepada Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani. Menurut Partha, dirinya kurang tertarik dengan usulan tersebut. Sebab akan dibenturkan dengan Kode Desa, sehingga saya lebih tertarik tentang kontribusi wisatawan. “Uang yang diperoleh dari wisatawan bisa digunakan untuk melestarikan Desa Adat,” ungkapnya.
Lebih lanjut, kontribusi wisatawan merupakan hal yang sewajarnya dilakukan. Sebab tidak perlu lagi menagih uang kepada pemerintah pusat, tapi langsung kepada turis yang menikmati keindahan dan Budaya Bali.
“Kita membiayai proses atraksi budaya dengan biaya yang besar. Lalu turis tiba-tiba datang saat berlangsungnya Pesta Kesenian Bali (PKB) dan mengambil foto disana. Untuk dijual fotonya, dan dia nikmati fotonya, tanpa tahu bahwa satu Gong Kebyar yang tampil di PKB biayanya 1 Miliar. Jadi wajar-wajar saja turis dipungut biaya sebagai kontribusi Budaya,” ujar Partha kepada rekan-rekan media. (DI)
Editor: N.Arditya