MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Aliansi Perempuan Bali menggelar aksi kampanye damai di Depan Kantor Gubernur Bali sebagai bentuk peringatan Hari Perempuan Indonesia (HPI) yang jatuh pada 8 Maret 2019, Minggu (10/3/2019). Kegiatan yang dilaksanakan bersamaan dengan Car Free Day (CFD) ini ditujukan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat terkait peringatan hari perempuan internasional dan memberitahukan diskriminasi yang dialami oleh pekerja wanita di Bali.
Hal tersebut dijelaskan oleh Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali, Ida I Dewa Made Rai Budi Darsana di Depan Kantor Gubernur Bali.
“Berharap dengan aksi ini bisa menjadi media sosialisasi kepada masyarakat bahwa tanggal 8 Maret adalah peringatan hari perempuan internasional. Sekaligus meminta kepada Gubernur Bali untuk membuat kebijakan – kebijakan yang memperhatikan kesejahteraan dan hak – hak pekerja perempuan,” ujar Ida I Dewa Made Rai Budi Darsana.
Dia juga menambahkan bahwa pihaknya prihatin dengan sistem kerja kontrak atau outsourcing yang diterapkan kepada pekerja di Bali terutama pekerja perempuan di sektor pariwisata.
“Seperti diketahui adalah sektor perekonomian utama di Bali adalah pariwisata, tetapi kenapa pekerja di Bali masih diberlakukan sistem outsourcing. Hal ini jelas tidak bersinergi dengan julukan Bali sebagai Pulau Pariwisata. Sehingga berharap Gubernur Bali mau menghapus sistem kerja kontrak atau outsourcing demi kesejahteraan pekerja Bali,” tegas Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali.
Ditempat yang sama, Retno Dewi selaku Koordinator lapangan dari aksi ini juga menjelaskan latar belakang diskriminasi yang dialami oleh pekerja perempuan Bali berawal dari monopoli dan alih fungsi lahan pertanian yang memaksa perempuan pedesaan untuk mencari pekerjaan di kota, di sektor pariwisata. Namun dari pilihan bekerja dibidang pariwisata hanya diperoleh diskriminasi hak asasi, hingga kasus pelecehan.
“Dalam satu hari bekerja, buruh laki – laki bisa mendapatkan upah sebesar Rp 120.000, sedangkan buruh perempuan hanya mendapatkan upah sebesar Rp 80.000 dengan beban pekerjaan dan resiko yang sama bahkan minim jaminan keselamatan kerja,” papar Retno.
Aksi tersebut diakhiri pembacaan tuntutan untuk mencabut PP No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, menghapus diskriminasi terhadap perempuan di dunia ketenagakerjaan, khususnya di sektor pariwisata, menghapus monopoli penguasaan tanah dan alih fungsi lahan serta jalankan reforma agraria sejati, membangun industri skala nasional demi kedaulatan ekonomi bangsa, menghentikan kekerasan, pelecehan sexual, pemerkosaan terhadap perempuan dan anak dan mencabut undang – undang perguruan tinggi no.12 tahun 2012. (DA)
Editor: N. Arditya