MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – PLTU Celukan Bawang 2 x 330 MW yang pada awal tahun kemarin digugat oleh sejumlah warga dari desa terdampak dan Greenpeace Indonesia, masih terus berlanjut. Setelah hakim PTUN Denpasar memenangkan pihak Gubernur dan PT. General Energi Bali, Para Penggugat kemudian mengajukan banding dan saat ini masih berproses di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya.
“Kami akan terus berjuang bersama warga terdampak dan masyarakat Bali untuk mendapatkan putusan yang berkeadilan dengan menghormati pemenuhan HAM dan prinsip-prinsip Lingkungan Hidup (Ekologi)”, ungkap Ni Kadek Vany Primaliraning, Direktur LBH Bali.
Kami sudah menyajikan banyak bukti mengenai kerugian yang akan dialami oleh masyarakat yang tinggal disekitar PLTU Celukan Bawang. Bukti kerugian yang akan diderita oleh masyarakat akibat telah beroperasinya PLTU Celukan Bawang 1 x 380 MW, serta dampak yang akan ditimbulkan pada ekosistem laut yang saat ini menjadi daya tarik wisata Bali barat, seperti lumba-lumba dan jalak Bali.
Di tengah proses pengadilan dan pemeriksaaan perkara oleh Hakim Banding PT TUN Surabaya, Gubernur Bali Wayan Koster, mengeluarkan ide untuk mengubah bahan bakar PLTU Celukan Bawang dari batubara menjadi gas. Dari beberapa sumber berita, Wayan Koster beralasan bahwa PLTU Batubara akan merusak lingkungan dan ingin membangun Bali yang lebih bersih, hijau dan ramah lingkungan.
“Kami mengapresiasi komitmen Gubernur Bali terpilih yang juga ikut khawatir akan pencemaran polusi udara yang mengancam kesehatan masyarakat Bali, tetapi upaya tersebut tentu harus dilihat secara nyata dengan mengajukan penarikan kontra memori banding yang telah diajukan oleh Pemerintah Bali”, tegas Vany.
“Jika tidak menarik kontra memori banding, dan tetap ingin mempertahankan Izin Lingkungan PLTU Celukan Bawang 2 x 330 MW yang dalam dokumen Amdal masih memakai batubara, maka dapat kami simpulkan bahwa ide tersebut hanya sekedar omong kosong”, lanjut Vany.
Selain itu, penggantian sumber energi dari batubara ke gas masih menjadi pertanyaan apakah pembangkit dengan bahan bakar gas sudah ramah lingkungan. Bahan bakar dengan menggunakan energi fosil merupakan energi kotor, dan masih berkontribusi kepada perubahan iklim. Peralihan dari batubara menjadi energi terbarukan seperti angin, tenaga surya, gelombang merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan. Jika mengembangkan pembangkit dengan bahan bakar gas maka, Wayan Koster melakukan hal yang inkonsistensi dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Nasional (RUPTL Nasional).
Dalam RUPTL Nasional 2017-2026 telah secara jelas menyatakan bahwa “Provinsi Bali sebagai destinasi wisata dunia memiliki sumber Daya Energi Terbarukan yang melimpah dan didukung kondisi masyarakat yang terbuka dan mudah untuk menerima teknologi terbaru akan memulai tahapan implementasi smart grid secara bertahap. Hal ini juga didukung pemerintahan Provinsi Bali yang memiliki visi menjadikan Bali sebagai Eco Green Wisata yang sejalan dengan rencana implementasi Smart Grid.”
“Jika Bali ingin menjadi yang terdepan dalam melawan perubahan iklim, pemanfaatan energi terbarukan harus dilakukan secara maksimal ditambah lagi Bali memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. Tidak ada penambahan biaya bahan bakar dalam pembangkit energi terbarukan. Dengan dukungan regulasi yang tepat, energi terbarukan seperti matahari dan angin adalah energi masa depan termurah yang sangat adil bagi masyarakat”, ungkap Didit Haryo, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia. (NN)
Editor: N. Arditya