MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Tingginya angka perdagangan satwa dilindungi di Indonesia masih menjadi kekhawatiran sendiri bagi pemerintah dan seluruh pihak pemerhati satwa. Hal tersebut diungkapkan Koordinator Marine Mammals Program, LSM Jakarta Animal Aid (JAAN) Amank Raga, Sabtu, (1/12/2018).
“Pada tahun 2017 hitungan di pasar gelap sebesar 3,2 Triliun baik perdagangan satwa untuk dalam negeri maupun luar negeri. Total 47 kasus di 2018 dengan jumlah satwa hampir 5.000 dan paling banyak terjadi di Surabaya sekitar 1.700 hewan seperti burung nuri, kakak tua raja, musang papua, kanguru papua, biawak papua, dan jenis lainnya”, jelasnya.
Meskipun hingga saat ini di Bali belum diketahui detail data nominalnya, namun Bali menjadi kawasan strategis sebagai pintu keluar masuk perdagangan satwa hingga ke luar negeri, untuk itu perlunya sistem pengawasan yang masif.
“Pada dasarnya sistem pengawasan di Bali sudah cukup maksimal, namun untuk jumlah personil masih belum memadai dan kurangnya tingkat pemahaman dan partisipasi masyarakat terhadap peredaran satwa liar yang dilindungi. Untuk di pelabuhan baik yang resmi maupun bayangan masih banyak celah dan kegiatan penertiban hanya bersifat insidentil bukan rutinitas sehari-hari”, tegasnya.
Selain itu, salah satu cara untuk mendeteksi kendaraan menyembunyikan satwa dilindungi biasanya ditimbun dengan sayur, ditutup terpal segitiga, apabila terpal depan terbuka berarti ada sirkulasi udara karena satwa tersebut harus tetap hidup. “Biasa oknum mengakali dengan pengiriman hewan lain dan menggunakan kendaraan pribadi sehingga jarang dilakukan pemeriksaan”, tuturnya.
Sementara mengenai beberapa kasus yang terjadi, Amank menegaskan bahwa berbagai jenis penyelundupan sudah pernah digagalkan seperti lutung jawa, owa jawa, hingga pemesanan daging penyu. “Kasus pemesanan daging penyu dari Bali untuk kebutuhan restoran di Kuta sebagai menu lawar dan warung di kawasan Sanur namun dapat diamankan di Pelabuhan Gilimanuk”, terangnya. (NN)
Editor: N. Arditya