MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Pasca penangkapan pelaku pemungutan retribusi yang terjadi di kawasan wisata Pantai Matahari Terbit, Denpasar dan Tirta Empul Kabupaten Gianyar oleh aparat kepolisian, hal tersebut memicu respon beberapa elemen masyarakat Bali dengan menyandingkan keabsahan perarem adat dan hukum tertulis nasional.
Pada dasarnya Desa Adat Pakraman menginginkan adanya pendekatan persuasif apabila ditemukan pelanggaran terkait retribusi atau pemungutan sehingga menjadi bahan evaluasi yang akan dimuat dalam awig-awig atau perarem masing-masing desa adat. “Kami meminta dengan tegas nantinya ada kesepakatan tertulis secara resmi dan disebarkan pada publik sehingga tidak menimbulkan keresahan di desa pakraman”, ungkap perwakilan Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah), Ketut Putra saat menggelar audiensi di Kantor DPRD Bali, Renon, Denpasar.
Sementara dalam keterangannya Disreskrimum Polda Bali, Kombes Pol Andri Fairan, menjelaskan bahwa kasus pungutan di Sanur belum ada kejelasan awig-awig atau Perarem mengingat hanya ditandatangani oleh Bendesa Desa Pakraman. “Secara legalitasnya awig-awig itu sah dan ada Perdanya, namun jika hanya dasar surat selembar maka tidak jelas dan kami tidak ada maksud untuk melemahkan kedudukan desa adat, namun sebaliknya bertujuan ingin menguatkan kedudukan desa adat”, tegasnya, Selasa, (13/11/2018).
Lebih lanjut Ketua Tim Ahli MUDP, Prof. Widya menyarankan agar seluruh elemen dapat memahami apa yang dimaksud pungutan liar (pungli) karena belum ada kesepakatan, apakah pungli merupakan pelaksanaan hukum positif publik terhadap ASN atau masyarakat desa adat/pakraman sehingga yang disepakati dapat diterima semua pihak. “Kasus ini didaerah abu-abu karena tidak sepenuhnya masuk hukum negara maupun hukum adat, sehingga kita perlu duduk bersama untuk menyepakati aturan yang ada”, sebutnya.
Merujuk pada beberapa argumen dalam proses audiensi, kesimpulan permasalahan yang ada adalah saber pungli tidak masuk dalam wilayah masyarakat adat namun apabila ada permasalahan maupun pelanggaran maka aparat menginformasikan dan jajaran adat pakraman yang menyelesaikan masalah. “Jajaran adat juga harus menyempurnakan aturan yang ada agar kesannya tidak bertentangan dengan perundang – undangan”, tutup Wakil Ketua DPRD Bali, IGB. Alit Putra. (NN)
Editor: N Arditya