MENARAnews, Pekanbaru (Riau) – Realisasi Perhutanan Sosial di Riau pada lahan gambut menjadi terhambat, masyarakat masih belum bisa mendapatkan akses untuk menyediakan perhutanan sosial untuk menaikkan taraf hidup mereka.
Pemanfaatan lahan gambut untuk Perhutanan Sosial di Riau dinilai sebagai sesuatu yang harus digesa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Ini kan, kalau dalam konteks di Riau, PS (Perhutanan Sosial) atau TORA (Tanah Objek Reformasi Agraria) itu memang salah satu yang harus digesa, masyarakat diberi akses seluas-luasnya melalui skema perhutanan sosial dan TORA untuk menjawab keadilan, keberlanjutan, dan menjawab juga untuk kesejahteraan,” ungkap Riko Kurniawan selaku Direktur Eksekutif Walhi Riau dalam Diskusi yang diselenggarakan oleh Senarai yang mengangkat isu Perhutanan Sosial (24/11/2018).
Dia juga mengungkapkan bahwa ketersediaan lahan gambut cukup besar di Riau, namun masyarakat belum mendapatkan akses terhadap hutan negara di lahan gambut tersebut dalam skema perhutanan sosial.
“Hampir 80 persen wilayah kita itu terutama di lahan gambut, dimiliki oleh konsesi, hutan – hutan negara yang masih belum dapat akses oleh masyarakat, itu saat ini yang sedang diajukan masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan istilahnya PS, perhutanan sosial atau TORA,” tambahnya.
Dia menyampaikan bahwa pemerintah dalam hal ini baik pusat maupun daerah, belum bisa memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam penyediaan perhutanaan sosial, masih banyak usulan masyarakat terkait perhutanan sosial yang terhambat atau belum diproses.
“kita melihat pemerintah Riau dan pemerintah pusat, untuk lahan gambut, mulai mengajukan moratorium istilahnya, sehingga banyaklah usulan-usulan masyarakat itu ditahan, sehingga masyarakat sampai saat ini agak susah mengakses. Catatan kami ada hampir 23 usulan dari desa untuk perhutanan sosial tidak diproses,” ujarnya.
Menurutnya yang menjadi kendala dalam realisasi perhutanan sosial yakni dinas atau lembaga terkait belum begitu memahami konteks dari perhutanan sosial dan jika kendala ini tidak ditangani maka keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Riau belum bisa direalisasikan.
“apa yang mengganjal sebenarnya, nah sebenarnya yang mengganjal itu adalah dinas terkait atau lembaga terkait misalnya Pokja PS, Dinas Lingkungan Hidup, gubernur, bupati, tidak memahami konteks seperti apa. Jika dibiarkan seperti ini, tidak akan mungkin masyarakat Riau itu akan sejahtera dan alamnya akan rusak,” bebernya.
Dia juga menilai ketika masyarakat belum diberikan kesempatan untuk mengelola, telah muncul anggapan bahwa masyarakat masih belum mampu untuk mengelola perhutanan sosial yang disampaikan sebagian kalangan.
“Inikan belum diberikan kesempatan masyarakat untuk mengelola, sehingga diberikan stigma tidak mampu untuk mengelola, itu sebagian besar yang dihembuskan oleh konsesi dan politisi kita, membilang rakyat tidak mampu untuk mengelola itu,” imbuhnya.
Sementara itu, Okto Yugo Setyo yang juga Wakil Koordinator Jikalahari juga menyampaikan bahwa dari aturan – aturan yang ada seperti Permen LHK No 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial menunjukkan tidak adanya larangan untuk perhutanan sosial di lahan gambut.
“Kalau kita melihat dari aturan – aturan main perhutanan sosial dan juga pemanfaatan hutan itu, kita tidak menemukan bahwa ada larangan untuk perhutanan sosial itu di lahan gambut, dalam permen LHK 83, di sana tidak menyebutkan, bahkan di dalam hutan lindung itupun, dapat dimanfaatkan untuk perhutanan sosial,” jelasnya.
Muslim Rasyid selaku Direktur Yayasan Mitra Insani juga menyampaikan bahwa perhutanan sosial bisa dilakukan pada lahan gambut. Meskipun diakuinya Inpres No.6 tahun 2017 tentang penundaan dan penyempurnaan tata kelola pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut dapat menghambat, tetapi di dalam inpres tersebut tidak menyebutkan perhutanan sosial di lahan gambut dilarang.
“satu-satunya yang menghambat adalah inpres moratorium no.6 tahun 2017, itu penundaan ijin baru dikawasan gambut, tetapi tidak dibilang untuk perhutanan sosial,” paparnya. (SZ)