MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Indonesia menjadi tuan rumah bagi gelaran IMF-World Bank Annual Meeting yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, tanggal 8-14 Oktober 2018. Menyikapi penyelenggaraan event besar ini lebih dari 20 organisasi masyarakat sipil (Civil Society Organizations (CSOs)) Indonesia dan global, secara independen menggelar “The People’s Summit on Alternative Development: Voices of Justice and Equality from The Past to The Future” pada tanggal 8-10 Oktober 2018 di Sanur, Bali, Indonesia.
Hasil diskusi “The People’s Summit on Alternative Development” disampaikan pada konferensi pers hari Selasa, 9 Oktober 2018 di Grand Inna Bali Beach Hotel, Sanur. “Sejarah panjang praktik yang dilakukan oleh Word Bank yang telah menyisakan berbagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penghancuran lingkungan hidup, serta mewariskan kemiskinan, tidak bisa terus menerus dilepaskan dari pertanggungjawaban mereka atas dana-dana utang yang digelontorkan. Impunitas terhadap Word Bank harus diakhiri. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah moratorium proyek-proyek utang dan melakukan audit terhadap proyek-proyek mereka dari masa lalu hingga saat ini”, tegas Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye WALHI.
Khalisah Khalid juga menekankan tentang pemerintah Indonesia yang seharusnya punya argumentasi mengenai beban utang masa lalu, karena itu hasil dari pemerintahan yang otoriter – renegosiasi soal utang dari negara yang undemocratic.
Arimbi Heroepoetri dari Debt Watch, menyatakan “Hampir 50 puluh tahun World Bank & IMF beroperasi di Indonesia belum pernah dilakukan audit terhadap kinerja dan dampak dari projek dan kebijakan yang mereka danai. Audit ini penting dilakukan oleh pemerintah Indonesia, agar kita bisa melihat apakah utang-utang yang kita lakukan efektif atau malah merusak lingkungan, sosial, dan melanggar Hak Asasi Manusia. Maka dari kerugian-kerugian itulah kita meminta renegosiasi utang.”
Sementara itu, Ah Maftuchan, Direktur Perkumpulan Prakarsa, menekankan soal penanganan ketimpangan ekonomi, sosial dan gender. Ketimpangan menjadi problem yang sangat serius karena mengakibatkan akses masyarakat ke sumber-sumber ekonomi terhadap layanan dasar.
“Penurunan kemiskinan diklaim pemerintah telah memiliki capaian, tetapi tak diikuti penurunan ketimpangan. Kami mendesak ke seluruh aktor pemerintah untuk melakukan upaya di luar kebiasaan dalam mengatasi ketimpangan. Yang paling urgen adalah IMF-WB dan anggotanya bahu-membahu. Karena kami melihat kebijakan hari ini masih berpihak pada kelompok kaya dan justru perpajakan membawa beban ke kelompok miskin,” ungkap Maftuch.
Agus Sarwono dari Transparency International Indonesia mengatakan bahwa masyarakat tahu persis bahwa proyek-proyek yang didanai oleh World Bank & IMF misalnya proyek-proyek pembangunan infrastruktur Indonesia sangat minim transparansi. Tidak adanya keterbukaan informasi publik misalnya kontrak pengadaan barang dan jasa yang tertutup akan menyulitkan masyarakat untuk mengawasi pembangunan baik pembangunan proyek besar ataupun pembangunan di desa. Bila kontrak terbuka masyarakat dapat mengawasi pembangunan mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan.
“Kita harus menekan pemerintah untuk memperbaiki tata kelola pengadaan barang dan jasa dengan keterbukaan kontrak dan pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan program-program pembangunan,” kata Agus Sarwono.
Selanjutnya, desakan masyarakat sipil tentang akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada IMF-World Bank yang terangkum dalam komunike yang sedang disusun bersama akan segera disampaikan ke kedua lembaga serta pemerintah secara langsung kepada pihak IMF-World Bank pada saat “IMF & World Bank Civil Society Town Hall Meeting” tanggal 10 Oktober 2018. (NN)
Editor: N. Arditya