MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Seiring peningkatan dinamika politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, pers memiliki peranan penting dalam menciptakan Pemilu berkualitas ditengah maraknya perang media sosial dari simpatisan maupun relawan politik. Hal tersebut diungkapkan Perwakilan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Wiryata, saat melangsungkan pertemuan dengan awak media di Grand Inna Bali Beach Hotel, Sanur, Denpasar, Rabu (29/08.2018).
Dijelaskan lebih lanjut pers dan pemilu mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan saling menguatkan, untuk itu diperlukan pengawasan dan mengevaluasi proses pemilu. “Pers sebagai media mainstream yang bermartabat maka pemilu yang memiliki jargon jurdil, bebas dan rahasia tetap akan berjalan sehingga masyarakat dapat memilih sesuai dengan hati nuraninya”, jelasnya.
Sementara itu, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Bali, Dwikora, menyebutkan bahwa menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) masyarakat dihadapkan perang tagar dan benturan maupun gesekan di media sosial. “Peran media massa diharapkan dapat membantu menurunkan tensi politik dan menciptakan pemilu yang berkualitas, bermartabat serta menjaga wilayah agar kondusif”, ujarnya.
Saat ini tagar ganti presiden sudah meramaikan media sosial, maka media massa berperan mendinginkan konstentasi politik dan kandidat sehingga muncul ruang publik yang mampu mengkondusifkan situasi yang ada. “Tagar tersebut sudah semakin marak, dan sesuai riset bahwa kepercayaan publik terhadap media sebesar 71 persen dimana masyarakat Indonesia masih mempercayai media massa sebagai rujukan informasi. Hal tersebut merupakan modal yang bagus bagi awak media untuk melanjutkan bisnis di dalam media”, jelas Agus Sudibyo, selaku Dewan Pers.
Sedangkan mengenai aspek yang berpotensi menjadi penghambat pelaksanaan Pemilu, Staf Ahli Kominfo, Ahmed Kurnia, mengatakan bahwa berdasarkan survei dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa suku, agama, ras, dan antar golongan (Sara) dan politik identitas, intoleransi, serta radikalisme masih menjadi faktor penghambat pemilu. “Sara dan politik identitas 40 persen, intoleransi 21 persen dan radikalisme 10 persen. Kemudian sebesar 76,6 persen responden akan mengkhawatirkan adanya sengketa hasil pemilu, 66,62 persen ketidaknetralan birokrasi, serta 53 persen golput”, pungkasnya. (NN)
Editor: N. Arditya