MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Penyerangan dan pembunuhan terhadap warga sipil serta aparat kepolisian merupakan pelanggaran hukum yang berat. Kekerasan yang dilakukan oleh tahanan kasus terorisme di rumah tahanan dalam lingkungan Mako Brimob, Depok yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan luka-luka dari personil Polri adalah kejahatan yang tidak boleh dibiarkan terulang. Polisi merupakan aktor keamanan negara yang bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Serangan terhadap Polri adalah bentuk kekerasan terhadap masyarakat itu sendiri. Keamanan dan ketertiban publik berada dalam kondisi bahaya. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Jend. (Purn.) Wiranto bahwa kekerasan oleh tahanan terorisme di markas pasukan terlatih Polri tersebut sebagai ancaman bagi keamanan nasional.
Hari Minggu lalu (13/5), kekerasan kembali berkecamuk melukai Indonesia. Serangan bom bunuh diri terhadap di Surabaya telah menelan korban warga masyarakat tak berdosa, termasuk anak-anak, dan korban luka-luka yang hingga kini masih menjalani perawatan. Polisi menyatakan bahwa pelaku serangan adalah sebuah keluarga, sepasang-istri dan empat anak mereka, yang berbagi tugas membawa bahan peledak ke gereja pada waktu berdekatan, menyerang umat gereja yang baru selesai menyelenggarakan misa Minggu pagi.
Publik terguncang dan mengutuk tindakan biadab tersebut. Pemerintah mengambil sikap serupa. Presiden Joko Widodo menyatakan, bahwa serangan teror tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Beliau lebih lanjut memerintahkan kepada Kapolri Jend. (Pol.) Tito Karnavian untuk membongkar jaringan pelaku dan memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya.
Menghadapi situasi genting seperti ini, desakan untuk menyelesaikan dan mengesahkan revisi UU Pemberantasan Terorisme kembali mencuat ke permukaan. Kapolri akan bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menumpas kelompok Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) dan Jemaah Ansharut Daulah (JAD) yang teridentifikasi berhubungan dengan pelaku kekerasan di Mako Brimob serta bom bunuh diri di Surabaya. Usulan lain, yaitu presiden segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu), agar aparat keamanan dapat lebih cepat menangani ancaman terorisme.
Maka menurut Sri Yanuarti, Koordinator Kelompok Penelitian nasional dan Penelitian Security Sector Reform (SSR) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Senin, (14/5) di Denpasar mengatakan, terkait dengan desakan tersebut, kita penting untuk meletakkan rencana perubahan regulasi yang terkait kontra-terorisme tersebut dalam perspektif tata kelola keamanan yang terukur dan efektif. Apakah TNI perlu dilibatkan dalam pencegahan dan penanganan terorisme?
“UU 34/2004 TNI telah mengatur bahwa pemberantasan terorisme merupakan salah satu operasi militer selain perang. Dalam prakteknya, pelibatan TNI pun sudah berjalan seperti tampak dalam Operasi Tinombala, misi mengejar dan menangkap Santoso dan kelompoknya di Gunung Biru, Poso. Personel TNI menembak Santoso dalam kontak senjata pada tahun 2016. Pelibatan TNI memiliki landasan hukum dan telah membuahkan hasil, namun patut digarisbawahi bahwa partisipasi prajurit militer, yang notabene adalah kombatan, dalam operasi penegakan hukum mengandung risiko yang tidak kecil bagi penataan sektor keamanan,” ujarnya.
Dilanjutkan, kalangan masyarakat sipil telah berulang kali menyatakan potensi sekuritisasi serta pelanggaran kebebasan sipil-politik dari keterlibatan tentara dalam kontra-terorisme. Untuk mencegah dampak negatif dari eskalasi operasi bagi masyarakat, pelibatan TNI hendaknya dilakukan pada jangka waktu terbatas dan hanya berperan sebagai kekuatan pendukung. Pendekatan penegakan hukum, daripada militeristik, harus menjadi landasan dalam pencegahan dan penanganan terorisme.
“Penanganan terorisme harus terintegrasi dengan manajemen pencegahannya termasuk di dalamnya terkait dengan persoalan mekanisne deradikalisai pada saat napi teroris di tahan,” jelasnya.
Dirinya mencontohkan, beberapa negara seperti Singapura dan Malaysia pendekatan deradikalisasi tidak hanya dilakukan pada pelaku saja melainkan juga anak dan istrinya. Mereka dibuatkan program-program khusus baik yang terkait dengan penyediaan pendidikan yang dirancang khusus untuk anak-anak pelaku teroris. Sementara itu bagi istri-istri pelaku juga diberikan program khusus, ketrampilan berusaha di bidang ekonomi dan lain-lainnya.
“Pembuatan program khusus tersebut selain dilakukan untuk proses deradikalisasi, juga sekaligus pemantauan pergerakan informasi dari pelaku terorisme melalui keluarga. Dengan kata lain, pendekatan deradikaliasi di Singapura yakni Religius rehabilitasion, Pshikologi rehabilitason, dan Social Rehabilision. Sementara di Indonesia mekanisme deradikalisasi masih terfokus hanya pada pelaku saja,” pungkas Yanuarti. (NN)
Editor: N. Arditya