MENARAnews, Denpasar (Bali) – Ribut soal mahar politik baru-baru ini mencuat kembali. Praktek mahar politik sebenarnya bukan rahasia umum karena erat kaitannya dengan biaya politik yang tinggi jelang Pilkada. Pemerintah perlu membuat regulasi khusus untuk menghindari mahar politik itu.
Menurut Ketua DPW PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Bali, I N Yasa Adi Susanto, praktek mahar politik sudah menjadi rahasia umum (meski susah dibuktikan), bahkan dinilai sudah lazim terjadi di setiap jelang gelaran Pemilu, (Pileg, Pilkada, Pilgub) termasuk di Bali. Praktek mahar ini muncul dari kader untuk mendapatkan rekomendasi dari partai .
Mahar tidak sebatas untuk mendapatkan rekomendasi. Bagi partai, mahar justru digunakan untuk membiayai kader yang ingin maju menjadi kepala daerah. Tingginya nilai mahar erat kaitannya dengan tingginya biaya politik yang harus dipenuhi Parpol. Misalnya untuk biaya kampanye, honor saksi di TPS, dan lain-lain.
“Pentingnya ada regulasi dari pemerintah untuk mengatur besaran biaya politik tersebut. Bisa diatur di dalam UU Parpol. Biaya logistik masing-masing Parpol bisa ditekan bila regulasi itu mencantumkan honor yang seragam untuk para saksi di TPS,” kata Yasa Adi saat dihubungi di Denpasar, Kamis (25/1/2018).
Yasa Adi menambahkan, untuk menghilangkan mahar jelas tidak mungkin tetapi membuat biaya politik menjadi murah bisa dimulai dengan adanya regulasi serta mengubah paradigma masyarakat untuk memilih calon kepala daerahnya sendiri sementara partai mengakomodasinya.
“Seperti waktu Pilkada DKI Jakarta dimana Ahok dipilih masyarakatnya dan masyarakat yang berpartisipasi membiayai pencalonannya. Jika calon pemimpin itu bersih, jujur dan amanah serta dipercaya masyarakatnya, saya kira tidak ada lagi mahar politik yang besarannya menjerat leher, bisa Rp. 200 milyar– 300 milyar,” tambahnya.
Yasa Adi juga mengkhawatirkan terjadi konflik di intern Parpol yang berkoalisi saat mengusung kader. “Kalau mahar sudah disetorkan ke induk partainya sendiri, bagaimana dengan partai lainnya yang bekerja keras turut berjuang. Konflik intern sulit dihindari karena semua partai yang berkoalisi merasa punya andil besar,” sambung Yasa Adi yang juga lawyer ini.
Mengubah paradigma masyarakat dan sistem politik di Indonesia, lanjut Yasa Adi, tidak bisa diwujudkan dalam waktu singkat. Paling tidak 10 – 20 tahun lagi, tetapi itu harus diupayakan bila ingin biaya politik rendah. “Parpol mencalonkan kader sebaiknya yang memiliki integritas, jujur, bersih dan elektabilitas tinggi dan bukan semata-mata karena mampu membayar mahar tinggi. Buntutnya digelandang KPK,” tutup Yasa Adi. (NN)
Editor: N. Arditya