MENARAnews, Denpasar (Bali) – Bertempat di Ruang Tirta Gangga, Kantor Perwakilan wilayah Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Bali berlangsung Sosialisasi Ketentuan Gerbang Pembayaran Nasional atau National Payment Gateway (NPG), Jumat (20/10/2017).
Kepala KPwBI, Causa Iman Karana mengatakan bahwa satu dari empat pilar utama Arsitektur Fungsi Strategis Sistem Pembayaran Bank Indonesia adalah mewujudkan infrastruktur pembayaran yang andal dan aman, salah satunya melalui inisiatif NPG, yang dilaksanakan dengan sasaran antar lain menginterkoneksikan jaringan dan instrumen pembayaran (ATM, Debit dan Kredit) termasuk mewujudkan National Scheme;menyelenggarakan switching dan kliring secara domestik. Kemudian kebijakan NPG sejalan dengan Nawa Cita nomor 6, yaitu meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Hal ini juga sejalan dengan Nawa Cita nomor 7 yaitu upaya mewujudkan kemandirian ekonomi untuk menggerakkan sektor-sektor strategis. Secara nyata, NPG mendukung dan diperlukan untuk memfasilitasi program Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) dan bantuan sosial yang lebih bernilai tambah. Selain itu, kebijakan ini juga merupakan bagian dari roadmap E-Commerce dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIV yang diwujudkan melalui penyiapan infrastruktur dan ekosistem perniagaan yang lebih efisien untuk mendorong peningkatan transaksi non tunai dan keuangan inklusif, sekaligus meningkatkan perlindungan konsumen, sebagaimana tercantum dalam Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional berbasis Elektronik, yang didukung dengan pengembangan NPG.
“Kebijakan NPG ditempuh untuk mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien dan andal, serta membangun daya tahan, daya tumbuh dan daya saing sistem pembayaran nasional; mendukung GNNT dan memfasilitasi pelaksanaan dan layanan program bantuan sosial non tunai yang lebih efisien, efektif dan aman. Juga menjawab berbagai persoalan, dan sekaligus memperbaiki kondisi sistem pembayaran nasional menuju kemandirian, kuat dan berdaulat, efisien, tumbuh inovatif dan berdaya saing,” ujar Causa Iman.
Perlu diketahui, kondisi Pembayaran Retail Nasional dimana pada tahun 2000-an peran domestik bertumbuh cukup baik, kartu ATM private label banyak beredar. Setelah tahun 2002-an, pertumbuhan tersebut terhenti bahkan cenderung menurun ketika prinsipal internasional masuk di Indonesia dan menawarkan skim kerja sama dengan fee tinggi kepada bank-bank domestik. Pemberian fee yang tinggi pada merchant dan akseptasi jaringan merchant yang luas mendorong bank-bank domestik memperoleh fee yang lebih tinggi bila menerbitkan kartu ATM dengan label principal. Pemberian Fee yang tinggi dimaksud juga membuat pelaku Sistem Pembayaran (SP) retail enggan membangun/investasi sistem dan infrastruktur SP ritel nasional. Ditambah dengan penyediaan Elektronic Data Capture (EDC) atau reader yang secara masif oleh bank-bank domestik, menyebabkan perluasan akseptasi kartu berlogo internasional ini tumbuh pesat, sementara kartu private label menurun, bahkan banyak tidak terbit lagi, sedikit yang dapat bertahan.
Perkembangan Kerjasama dengan Prinsipal Internasional dimana jumlah kartu ATM/debit berdasarkan data akhir tahun 2016, mencapai 136,1 juta dengan 90% diantaranya berlogo internasional dan 10% diantaranya berlogo domestik/private label. Dari 127,7 juta kartu debit dimaksud 90% transaksinya masih on us (pemindahbukuan), dan 10% diantaranya off us (transaksi via switching, internasional) yang harus di routing di luar negeri.
Saat ini pendapatan tersebut langsung ditransfer ke kantor pusat prinsipal internasional di AS dan Singapura sehingga tidak dapat dijadikan objek pajak. Hal ini tidak sejalan dengan upaya Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara (APBN) dari pajak. Rata-rata biaya Interchange Fee di Indonesia termasuk yang tertinggi dibandingkan negara lain, baik untuk skema kartu debit maupun kredit yaitu pada kisaran 1,1 – 1,6%; sedangkan di negara lain mayoritas sebesar 0,2 – 1%.
Potensi pendapatan bagi prinsipal internasional ini mencerminkan tingginya rente ekonomi yang harus dibayar oleh perbankan yang pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Tingginya biaya yang ditetapkan prinsipal internasional pada transaksi sistem pembayaran juga telah menjadi perhatian di negara lain. Terakhir di Inggris, salah satu prinsipal internasional dituntut sebesar GBP 14 Milyar karena membebankan biaya yang tinggi (1% interchange fee) untuk transaksi kartu kredit dalam kurun waktu 1992 – 2008.
Dominasi internasional yang tinggi pada sistem pembayaran nasional ini disebabkan antara lain kapabilitas layanan pembayaran retail nasional masih terbatas pada Kartu ATM, sementara untuk kartu debit, kartu kredit masih harus menggunakan sarana pemroses transaksi prinsipal international; sistem/infrastruktur (switching/routing) principal internasional memiliki keunggulan-acceptance pada jaringan merchant yang luas, sementara akseptasi switching domestik masih terbatas pada kartu ATM dan tidak memiliki jaringan merchant yang luas. Untuk penyedia sistem/infrastruktur (switching/routing) domestik masih fragmented, belum saling interkoneksi sehingga menjadi kendala terjadinya interoperabilitas instrumen pembayaran retail nasional. Pemberian fee yang tinggi oleh prinsipal internasional kepada para penerbit SP retail domestik, mendorong bank-bank penerbit enggan mengembangkan private labelnya sendiri.
Potensi Risiko Penggunaan Prinsipal Internasional, dominasi prinsipal internasional yang tunduk pada regulasi di negara asal, berpotensi melakukan tindakan yang bertentangan dengan kedaulatan/kepentingan nasional. Hal ini akan membuat Indonesia rentan terhadap tekanan politik dan ekonomi. Sebagai contoh, penghentian layanan sistem pembayaran secara sepihak oleh prinsipal internasional sebagaimana terjadi di Rusia.
Kebijakan yang diambil, Bank Indonesia menetapkan kebijakan National Payment Gateway (NPG) atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) melalui interkoneksi antar switching untuk mewujudkan interoperabilitas sistem pembayaran nasional. Kebijakan NPG mengatur dan menata infrastruktur, kelembagaan, instrumen, dan mekanisme sistem pembayaran nasional dalam suatu tatanan agar RI mandiri memproses seluruh transaksi pembayaran ritel domestik secara interkoneksi dan interoperabilitas.
Untuk menjamin kelangsungan interkoneksi dan interoperabilitas yang optimal, maka diatur lembaga-lembaga penyelenggara NPG yaitu Lembaga Standard, Switching, dan Services. Lembaga Standard, bertugas menyusun, mengembangkan, dan mengelola standar untuk menjamin interkoneksi dan interoperabilitas instrumen pembayaran, kanal pembayaran, dan switching, serta security. Lembaga Switching, bertugas untuk memproses data transaksi pembayaran secara domestik. Lembaga Services, dengan tugas utama menjaga keamanan transaksi, perlindungan nasabah, layanan operasional yang optimal, menangani perselisihan transaksi pembayaran dalam rangka perlindungan konsumen, serta mengembangkan perluasan akseptasi.
Sementara itu, untuk membangun daya tahan, daya tumbuh dan daya saing, serta menjaga kepentingan/kedaulatan nasional, Lembaga/Penyelenggara NPG, yaitu Lembaga Standard, Switching, Services, dipersyaratkan memiliki kapabilitas dan kapasitas, dan wajib memenuhi persyaratan kepemilikan minimal 80% oleh domestik. Saat ini, terdapat sinyalemen Prinsipal Internasional untuk menjadi penyelenggara NPG, sedangkan 99% kepemilikannya adalah milik Warga Negara Asing (WNA), sehingga tidak memenuhi persyaratan menjadi Lembaga Switching NPG)
Untuk menjaga penyelenggaraan NPG yang aman, tertib, teratur, selaras, dan koordinatif antar pelaku, NPG juga mengatur peran dan kewajiban Pihak-pihak yang terhubung dengan penyelenggara NPG, yaitu Issuer (Penerbit), Acquirer (Penyedia layanan pemrosesan transaksi), Payment Gateway, dan jasa pembayaran lainnya. Selain aturan kelembagaan, kebijakan NPG akan mengatur Pemrosesan Domestik, Branding, Pricing dan Fitur Layanan.
Pemrosesan Domestik (Routing), mengatur kewajiban transaksi pembayaran di domestik wajib diproses di domestik NPG. Dengan pengaturan dan penataan dimaksud, setiap instrumen pembayaran retail (baik yang berlogo internasional dan domestik) yang diterbitkan penerbit domestik, dan di transaksikan di kanal pembayaran domestik, wajib di routing di domestik via switching NPG. Saat ini, logo internasional untuk transaksi domestik Off-US di routing di luar negeri.
Menurut Kepala KPwBI Provinsi Bali mengenai pengaturan skema harga, Bank Indonesia akan menetapkan skema harga, yang mengarah pada harga yang wajar, yang mendorong efisiensi, kompetisi dan inovasi, serta mendorong pertumbuhan dan perluasan akseptasi instrumen pembayaran retail domestik. Saat ini, skema harga untuk kartu debit dengan Merchant Discount Rate sebesar 1,6 – 2,2% termasuk yang tertinggi di banding dengan negara lain.
“Dengan NPG, Indonesia akan memiliki branding atau logo domestik, sebagai identitas kedaulatan nasional di bidang SP ritel. Instrumen SP yang berlogo domestik akan dapat diterima dan diproses di seluruh toko di wilayah NKRI, akseptasi luas, dengan harga yang wajar, efisien, inovatif dan mampu bersaing dengan logo internasional,” pungkas Causa Iman Karana. (NN)
Editor: N. Arditya